KONSEP DASAR MATEMATIKA
DAVID AUSUBEL
D
I S U S U N
O
L
E
H
ZAINAB, S.PdI
12.25.11.449
YUSNI, S.Pd
12.25.11.448
ZAKIYAH HARAHAP,
S.PdI
12.25.11.451
DOSEN
PEMBIMBING : SYAMSUL BAHRI, M. Pd
PENDIDIKAN GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH
HIKMATUL FADHILLAH
SUMATERA UTARA
2013
Syukur
Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat membuat dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul KONSEP DASAR MATEMATIKA DAVID AUSUBEL.
Dan tidak lupa shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW beserta para sahabatnya, yang telah membawa kita
umat-Nya dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang sampai seperti
sekarang ini.
Dalam penulisan dan membuat makalah
ini penulis tidak luput dari berbagai kesulitan, tetapi berkat ridha Allah dan
usaha penulis, akhirnya penulis dapat mengatasi kesulitan itu, ditambah banyak
dukungan dan bimbingan serta saran dari berbagai pihak maka terwujudlah makalah
ini dalam keadaan sederhana.
Penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Dosen pembimbing serta teman-teman, dan semua pihak
yang telah banyak membantu penulis untuk membuat makalah ini. Dan tentunya
masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penyusunan makalah ini.
Untuk itu penulis berharap kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
dimasa akan datang. Penulis berharap makalah ini bisa berguna bagi kita semua.
Amiin yaa Rabbal ‘Alamiiiin..
Paluh Manis, 13 Maret 2013
Penyusun,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………….………………………………………………………………………………..……………..... i
Daftar Isi
…………................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ………….………………………………………………………………………….. 3
-
Tujuan
Penulisan …………………………………………………………………………………………. 3
-
Metode
Penulisan ……………………………………………………………………………………….. 3
BAB II : KONSEP DASAR
MATEMATIKA DAVID AUSUBEL …………….………………....... 4
A. DAVID AUSUBEL
………………………………...………………………………………………….….... 4
B. PENGERTIAN TEORI BELAJAR ……………………………………..……………………............. 4
C. PROSES PEMBELAJARAN BERMAKNA …………………………………………………………. 5
D. MENGHINDARI BELAJAR HAFALAN …………………………………………………………….. 7
E. PERBEDAAN BELAJAR BERMAKNA DENGAN BELAJAR HAFALAN ………….….. 9
F. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR BERMAKNA …….……. 9
G. PENERAPAN PEMBELAJARAN BERMAKNA ……………………………………..…………… 10
H.
PETA KONSEP ………………………………………………………………………………………………. 12
BAB III : PENUTUP ………………………………………………………….…………………………............ 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………………… 18
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
TUJUAN
PENULISAN MAKALAH
1.
Untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen
pembimbing.
2.
Untuk lebih memahami bagaimana teori belajar
matrematika menurut Ausubel, penerapan, teori Ausubel dalam mengajar, dan peta
konsep.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana Konsep dasar Belajar Menurut Ausubel?
2.
Bagaimana menerapkan teori Ausubel Dalam
Mengajar?
3.
Bagaimana Peta Konsep itu?
C.
METODE
PENELITIAN
Metode
yang digunakan penulis yaitu :
a. Library Research
Yaitu berdasarkan penelitian dari perpustakaan.
b. Internet Research
Yaitu dengan menggali informasi melalui internet.
c. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan yang dibahas penulis yaitu :
1.
Pada BAB I, penulis membahas tentang tujuan
penulisan.
2.
Pada BAB II, penulis membahas tentang KONSEP
DASAR MATEMATIKA DAVID AUSEBEL.
3.
Pada BAB III, penulis menyimpulkan isi pembahasan
makalah.
BAB II
KONSEP
DASAR MATEMATIKA DAVID AUSEBEL
A.
DAVID
AUSUBEL
David Ausubel adalah seorang ahli
psikologi pendidikan. Inilah yang membedakan Ausubel dari teoriwan-teoriwan
lainnya. Ausubel memberi penekanan pada belajar bermakna, serta retensi dan
variabel variabel yang berhubungan dengan macam belajar ini.
B.
PENGERTIAN TEORI BELAJAR
Teori belajar
adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan
belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang
akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Namun teori belajar ini
tidaklah semudah yang dikira, dalam prosesnya teori belajar ini membutuhkan
berbagai sumber sarana yang dapat menunjang, seperti: lingkungan siswa, kondisi
psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa.
Menurut Ausubel
dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada
siswa, melalui penemuan atau penerimaan.
Belajar
penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan
mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang
diajarkan. Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan
informasi atau materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya,
ini berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba
menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah
ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Sebagai pelopor
aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful
learning). Belajar bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru
dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. (Ratna Willis Dahar: 1996).
Selanjutnya
dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan belajar bermakna jika memenuhi
prasyarat, yaitu:
1.
Materi yang akan dipelajari secara Potensial.
2.
Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar bermakna.
Kebermaknaan
materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu memiliki
kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam
struktur kognitif siswa. Bedasarkan Pandangannya tentang belajar bermakna, maka
David Ausubel mengajukan 4 prinsip pembelajaran , yaitu:
1. Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal
atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama
dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya.
Penggunaan
pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi ,
terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat
mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur
awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
2. Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan
kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif
diperkenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran
dari umum ke khusus.
3. Belajar super ordinat
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang
mengalami petumbuhan kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan
diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar
tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru.
Belajar superordinat akan terjadi bila konsep- konsep yang lebih luas dan
inklusif.
4. Penyesuaian Integratif
Pada suatu saat
siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep
digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan
pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausubel
mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran
disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarki-hierarki
konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan.
C. PROSES PEMBELAJARAN BERMAKNA
Teori-teori
belajar yang dikemukakan Ausubel ataupun yang lainnya memang dapat dipakai para
guru untuk membantu siswanya belajar dengan baik. Teori-teori yang ditulis
Piaget telah didasarkan pada hasil interviu klinis dengan beberapa orang anak,
termasuk dengan dua putrinya sendiri. Awalnya, anak tersebut dihadapkan dengan
suatu tugas atau persoalan. Selanjutnya, si anak diminta mengungkapkan secara
lisan hal-hal yang sedang dipikirkannya.
Pertanyaan-pertanyaan
berikutnya dapat diajukan penginterviu yang bertindak sebagai peneliti
sedemikian rupa sehingga si anak tersebut dapat menjelaskan dan mengungkapkan
secara lebih jauh dan terinci alasan-alasan di balik pendapatnya itu (Resnick
& Ford, 1981). Sejalan dengan itu, Shadiq (1999) telah belajar dari seorang
anak kecil, Nani, yang telah memberi nama “batu lengket” untuk magnet karena
magnet tersebut mirip sekali dengan batu-batuan yang ada dibelakang
rumahnya.
Tentunya,
pendapat itu salah karena tidak sesuai dengan pengetahuan Fisika. Meskipun
begitu, si Nani akan tetap menganggap pendapatnya itu benar. Itulah sebabnya,
setiap anak selalu dengan yakin dan mantap akan menceritakan jalan pikirannya
sendiri, tidak peduli pendapatnya tersebut benar atau salah, sehingga lebih
mudah untuk dipelajari orang-orang disekitarnya seperti yang sudah dilakukan
Piaget. Tulisan tentang ‘belajar bermakna’ sebagai lawan dari ‘belajar hafalan’
atau ‘belajar dengan membeo’ berikut ini akan dimulai dengan ceritera tentang
si Nani lagi.
Tentunya, si Nani
yang waktu itu berlagak seperti seorang guru TK terhadap bapaknya tidak akan
menyadari jika dia dianggap seperti burung beo oleh bapaknya. Pada suatu hari,
Fitriani Fajar yang waktu itu berumur sekitar 4,5 tahun dan masih duduk di
bangku TK bertanya kepada bapaknya. Dari nada bicaranya tergambar bahwa ia
ingin menguji apakah bapaknya sudah tahu tentang penjumlahan dua bilangan yang
baru saja ia pelajari dari temannya.
Percakapan mereka
adalah sebagai berikut (N =Nani, B = Bapaknya).
N: “Bapak! Dua tambah dua berapa? Ayo …!”
B: “Menurut Nani?”
N: “Bapak dulu.”
B: “Oke. Oke. Dua tambah dua sama dengan empat.”
N: “Betul.” Ia berlagak seperti guru TK yang membenarkan jawaban
siswanya.
B: “Tahu dari mana bahwa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Dari Ari. Ari tahu dari bapaknya.”
B: “Nani percaya?”
N: “Ya. Bapaknya Ari kan pintar.”
B: “Kenapa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Ya karena dua tambah dua sama dengan empat.”
B: “Kalau satu tambah dua?”
N: “Nani belum tahu.”
B: “Kenapa?”
N: “Ari belum memberi tahu. Mungkin bapaknya belum mengajarinya.”
B: “Kalau satu tambah satu?”
N: “Dua.”
B: “Ah masak?”
N: “Tiga … tiga … tiga … .”
B: “Yang benar. Masak tiga.”
N: “Empat … empat … ! Lima …! Tujuh … tujuh … . Kalau begitu berapa?”
B: “Ya dua.”
N: “Nani kan sudah bilang dua tadi. E … bapak menipu.”
Nani telah
menunjukkan kepada kita bahwa ia telah mampu dengan benar atau kompeten
menentukan nilai dari penjumlahan 2 + 2 ataupun 1 + 1. Namun, apakah ia
memahami mengapa dan darimana 2 + 2 = 4 dan 1 + 1 = 2? Ketika ia ditanya
bapaknya mengapa 2 + 2 = 4?, ia menjawab: ”Ya karena 2 + 2 = 4,” tanpa alasan
yang jelas. Artinya, si Nani hanya meniru pada apa yang diucapkan teman
sebayanya yaitu si Ari. Tidaklah salah jika ada orang yang lalu menyatakan
bahwa si Nani telah belajar dengan membeo.
Seperti halnya
seekor burung beo yang dapat menirukan ucapan tertentu namun sama sekali tidak
mengerti isi ucapannya tersebut, maka seperti itulah si Nani yang dapat
menjawab bahwa 2 + 2 adalah 4 namun ia sama sekali tidak tahu arti 2 + 2 dan
tidak tahu juga mengapa hasilnya harus 4. Jika si Ari, temannya, menyatakan 2 +
3 = 5 maka sangat besar kemungkinannya jika si Nani akan mengikutinya. Cara
belajar dengan membeo seperti yang telah dilakukan si Nani tadi disebut dengan
belajar hafalan (rote learning) oleh David P Ausubel (Orton, 1987).
D. MENGHINDARI BELAJAR HAFALAN
Pertanyaan yang
mungkin muncul adalah apa yang dimaksud dengan belajar hafalan (rote learning).
Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978: 132): “…, if the
learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e., as a series of
arbitrarily related word, both the learning process and the learning outcome
must necessarily be rote and meaningless”. Intinya, jika seorang anak, contohnya
si Nani, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu
dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat
dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh lain yang
dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1
ataui 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat
menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain dari
belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas
persegipanjang adalah L = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu
persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang L, p, dan l.
Salah satu
kelemahan dari belajar hafalan atau belajar membeo telah ditunjukkan Nani di
mana jawaban yang benar, yaitu 1 + 1 = 2, diubah dengan jawaban yang lain
ketika jawaban tersebut pura-pura dianggap sebagai jawaban yang salah oleh
bapaknya. Intinya, si Nani tidak memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan
dirinya sendiri, apalagi meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka
lagi kalau temannya tadi mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 + 2 = 6. Tidak
mustahil jika ia mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru
seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 karena temannya belum mengajari hal itu.
Materi pelajaran
matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun merupakan pengetahuan
yang saling berkait antara pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya.
Seorang anak atau siswa tidak akan memahami pengertian penjumlahan dua bilangan
jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk
pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan
seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang perpasangan
seperti banyaknya mata, telinga, kaki, …dan seterusnya.
Di samping itu,
sering terjadi, ketika sedang menghitung sesuatu, tangan sang anak kecil masih
ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “tiga”, “lima”, atau malah “enam”.
Kesalahan sepele seperti ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah dua
bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering
meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai sepuluh. Dari apa yang
dipaparkan di atas jelaslah bahwa untuk dapat menguasai materi Matematika,
seorang anak harus menguasai beberapa kemampuan dasar lebih dahulu.
Setelah itu, si
anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan
yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna.
Karenanya, Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Orton (1987:34):
“If I had to reduce all of educational psychology to just one principle, I
would say this: The most important single factor influencing learning is what
the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Jelaslah
bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar bermakna
ini, perhatikan tiga bilangan berikut.
Menurut Anda,
dari tiga bilangan berikut:
(a)
50.471.198
(b)
54.918.071
(c)
17.081.945
manakah yang lebih mudah dipelajari atau diingat para siswa?
Seorang siswa
dapat saja mengingat ketiga bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan bilangan
tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga bangsa Indonesia
tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa bilangan (c) yaitu 17.081.945
merupakan bilangan yang paling mudah dipelajari jika bilangan tersebut
dikaitkan dengan tanggal 17 – 08 – 1945 yang merupakan hari kemerdekaan
Republik Indonesia.
Proses
pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh satu ribu
sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna bagi siswa hanya jika si siswa
dengan bantuan gurunya dapat mengaitkannya dengan tanggal keramat 17 Agustus
1945 yang sudah ada di dalam kerangka kognitifnya.
Bilangan (b)
yaitu 54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada bilangan (a) yaitu
50.471.198 karena bilangan (b) didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam urutan
terbalik yaitu 5491–80–71.
Bilangan (a)
merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan atau
polanya belum diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses
pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru
mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa
dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah
digagas David P Ausubel.
E. PERBEDAAN BELAJAR BERMAKNA DENGAN BELAJAR HAFALAN
Menurut Ausubel
dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada
siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi
dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan
sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan.
Dimensi kedua
berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi atau materi
pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti belajar
bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru
tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya, maka dalam hal ini hanya terjadi belajar hafalan bukan belajar
bermakna.
F. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR BERMAKNA
Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur
kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi
tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan
validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke
dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang
terjadi.
Jika struktur
kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan
jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi
sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak
teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
G. PENERAPAN PEMBELAJARAN BERMAKNA
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti
Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama
mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka
banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat
pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu.
Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar
bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna
kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya
dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Pada belajar
bermakna siswa dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara penerimaan,
materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna
secara penemuan, siswa diharapkan dapat menemukan sendiri informasi konsep atau
dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika
siswa mampu mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang
sudah ada. Struktur kognitif tersebut dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep
maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh
siswa. Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta
informasi.
Menurut Bruner,
inti belajar adalah cara-cara bagaimana manusia memilih, mempertahankan,
mentransformasikan informasi secara aktif. Masih menurut Bruner, di dalam orang
yang belajar, hal-hal yang memiliki kesamaan atau kemiripan dihubungkan menjadi
struktur yang memberikan arti pada hal-hal yang dipelajari. Sebagaimana Piaget
dalam pendidikan, Bruner juga menyarankan pendekatan child centered approach
yang dihubungakan dengan belajar penemuan (discovery learning).
Robert Gagne membagi tipe belajar ke dalam 8 jenis yang paling rendah tingkatannya, yaitu belajar isyarat (signal learning) sampai ke yang paling tinggi yaitu pemecahan masalah (probem solving).
Robert Gagne membagi tipe belajar ke dalam 8 jenis yang paling rendah tingkatannya, yaitu belajar isyarat (signal learning) sampai ke yang paling tinggi yaitu pemecahan masalah (probem solving).
Secara lengkap
tipe-tipe belajar adalah probem solving, rule learning, concept learning,
discrimination learning, verbal learning, chaining, stimulus-response learning
dan signal learning. Dalam menjelaskan proses belajar, Piaget menggunakan 3
istilah yang sering digunakan pada Biologi (hal ini sesuai dengan latar
belakang akademiknya), yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Akomodasi
merupakan anak untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Dalam hal ini
lingkungan menuntut anak untuk melakukan sesuatu.
Anak harus
mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika seorang anak
menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya (mobil-mobilan
misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat dirinya dapat
memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat berjalan lagi.
Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk memenuhi apa yang
ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan dan memodifikasi
lingkungan untuk mencapai hal tersebut.
Ia mungkin
melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang anak berumur 4
tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib atau lempengan
plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat juga ia melakukannya
dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah rumahan, sebuah
arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan dengan ‘bermain’
(play), yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain
terdapat hubungan yang sangat erat.
Kita semua tahu
bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme psikologis mengenai
hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi
imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi
melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran, sedangkan akomodasi
melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada
sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu
untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan oleh yang lain.
Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan
tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi (equilibration).
Ekuilibrasi
merupakan kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur. (Sur berkomentar:
pengalaman baru = keping informasi yang baru, sedang di carikan posisi yang
tepat pada struktur pengetahuan yang sebelumnya ia miliki. Kalau semenjak kecil
ia terbiasa dengan peta konsep, maka proses belajarnya akan menjadi lebih
efektif, karena keping yang baru itu bisa segera ditempatkan pada dahan/ cabang
yang tepat atau suatu saat bisa diupdate pada dahan/cabang yang lebih tepat bila
ditemukan informasi yang relevan).
H. PETA KONSEP
Peta konsep
merupakan salah satu bagian dari strategi organisasi. Strategi organisasi
bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan organisasi
bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru,
terutama dilakukan dengan mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru
pada bahan-bahan tersebut. Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari
pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau
istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Strategi- strategi ini
juga terdiri dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci dari
sekumpulan informasi yang lebih besar.
1. Pengertian Konsep
Konsep dapat
didefenisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah satunya adalah defenisi yang
dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa konsep merupakan suatu abstraksi
dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok obyek atau
kejadian. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada
situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen
yang lain.
Tidak ada satu
pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya dari konsep atau berbagai
macam konsep-konsep yang diperoleh para siswa. Oleh karena itu konsep-konsep
itu merupakan penyajian internal dari sekelompok stimulus, konsep-konsep itu
tidak dapat diamati, dan harus disimpulkan dari perilaku.
Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir dan belajar.
Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir dan belajar.
Pemetaan konsep
merupakan suatu alternatif selain outlining, dan dalam beberapa hal lebih
efektif daripada outlining dalam mempelajari hal-hal yang lebih kompleks. Peta
konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep
dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi merupakan dua atau lebih konsep
yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik (Novak dalam Dahar
1988: 150).
George Posner dan
Alan Rudnitsky dalam Nur (2001b: 36) menyatakan bahwa peta konsep mirip peta
jalan, namun peta konsep menaruh perhatian pada hubungan antar ide-ide, bukan
hubungan antar tempat. Peta konsep bukan hanya meggambarkan konsep-konsep yang
penting melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu. Dalam
menghubungkan konsep-konsep itu dapat digunakan dua prinsip, yaitu diferensiasi
progresif dan penyesuaian integratif.
Menurut Ausubel
dalam Sutowijoyo (2002: 26) diferensiasi progresif adalah suatu prinsip
penyajian materi dari materi yang sulit dipahami. Sedang penyesuaian integratif
adalah suatu prinsip pengintegrasian informasi baru dengan informasi lama yang telah
dipelajari sebelumnya. Oleh karena itu belajar bermakna lebih mudah
berlangsung, jika konsep-konsep baru dikaitkan dengan konsep yang inklusif.
Untuk membuat
suatu peta konsep, siswa dilatih untuk mengidentifikasi ide-ide kunci yang
berhubungan dengan suatu topik dan menyusun ide-ide tersebut dalam suatu pola
logis. Kadang-kadang peta konsep merupakan diagram hirarki, kadang peta konsep
itu memfokus pada hubungan sebab akibat. Agar pemahaman terhadap peta konsep
lebih jelas, maka Dahar (1988: 153) mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai
berikut:
1) Peta konsep (pemetaan konsep) adalah suatu cara untuk
memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang studi, apakah
itu bidang studi fisika, kimia, biologi, matematika dan lain-lain. Dengan
membuat sendiri peta konsep siswa “melihat” bidang studi itu lebih jelas, dan
mempelajari bidang studi itu lebih bermakna.
2) Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu
bidang studi atau suatu bagian dari bidang studi. Ciri inilah yang
memperlihatkan hubungan-hubungan proposisional antara konsep-konsep. Hal inilah
yang membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara mencatat pelajaran
tanpa memperlihatkan hubungan antara konsep-konsep.
3) Ciri yang ketiga adalah mengenai cara menyatakan hubungan
antara konsep-konsep. Tidak semua konsep memiliki bobot yang sama. Ini berarti
bahwa ada beberapa konsep yang lebih inklusif dari pada konsep-konsep lain.
4) Ciri keempat adalah hirarki. Bila dua atau lebih konsep
digambarkan di bawah suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah suatu
hirarki pada peta konsep tersebut.
Peta konsep dapat
menunjukkan secara visual berbagai jalan yang dapat ditempuh dalam
menghubungkan pengertian konsep di dalam permasalahanya. Peta konsep yang
dibuat murid dapat membantu guru untuk mengetahui miskonsepsi yang dimiliki
siswa dan untuk memperkuat pemahaman konseptual guru sendiri dan disiplin
ilmunya. Selain itu peta konsep merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk
memahami dan mengingat sejumlah informasi baru (Arends, 1997: 251).
2. Cara Menyusun Peta Konsep
Menurut Dahar
(1988:154) peta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna. Oleh
karena itu siswa hendaknya pandai menyusun peta konsep untuk meyakinkan bahwa
siswa telah belajar bermakna. Langkah-langkah berikut ini dapat diikuti untuk
menciptakan suatu peta konsep.
Langkah 1: mengidentifikasi ide pokok atau prinsip yang melingkupi
sejumlah konsep.
Langkah 2: mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep sekunder
yang menunjang ide utama
Langkah 3: menempatkan ide utama di tengah atau di puncak peta
tersebut
Langkah 4: mengelompokkan ide-ide sekunder di sekeliling ide utama
yang secara visual menunjukan hubungan ide-ide tersebut dengan ide utama.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dikemukakan langkah-langkah menyusun peta konsep sebagai
berikut:
1)
Memilih suatu bahan bacaan
2)
Menentukan konsep-konsep yang relevan
3)
Mengelompokkan (mengurutkan ) konsep-konsep dari yang paling
inklusif ke yang paling tidak inklusif
4)
Menyusun konsep-konsep tersebut dalam suatu bagan, konsep-konsep
yang paling inklusif diletakkan di bagian atas atau di pusat bagan tersebut.
Dalam menghubungkan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan kata
hubung. Misalnya “merupakan”, “dengan”, “diperoleh”, dan lain-lain.
c. Peta Konsep sebagai Alat Ukur
Alternatif
Tes seperti pilihan ganda yang selama
ini dipandang sebagai alat ukur (uji) keberhasilan siswa dalam menempuh jenjang
pendidikan tertentu, bukanlah satu-satunya alat ukur untuk menentukan
keberhasilan siswa. Tingkat keberhasilan siswa dalam menyerap pengetahuan
sangat beragam, maka diperlukan alat ukur yang beragam. Peta konsep adalah
salah satu bentuk penilaian kinerja yang dapat mengukur siswa dari sisi yang
berbeda.
Penilaian kinerja
adalah bentuk penilaian yang digunakan untuk menilai kemampuan dan keterampilan
siswa berdasarkan pada pengamatan tingkah lakunya selama melakukan penilaian
terhadap hasil kerja siswa selama kegiatan. Menurut Tukman dalam Sutowijoyo
(2002: 31) penilaian kinerja adalah penilaian yang meliputi hasil dan proses,
yang biasanya menggunakan material atau suatu peralatan (equipment). Penilaian
kinerja dapat digunakan terutama untuk mengukur tujuan pembelajaran yang tidak
dapat diukur dengan baik bila menggunakan tes obyektif. Penilaian kinerja
mengharuskan siswa secara aktif mendemonstrasikan apa yang mereka ketahui.
Yang paling
penting, penilaian kinerja dapat memberi motivasi untuk meningkatkan
pengajaran, pemahaman terhadap apa yang mereka perlu ketahui dan yang dapat
mereka kerjakan. Berdasarkan teori belajar kognitif Ausubel, Novak dan Gowin
(1984) dalam Dahar (1988: 143) menawarkan skema penilaian yang terdiri atas:
Struktur hirarki, perbedaan progresif, dan rekonsiliasi integratif.
Struktur
hirarkis, yaitu struktur kognitif yang diatur secara hirarki dengan
konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang lebih inklusif, lebih umum,
superordinat terhadap konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang kurang
inklusif dan lebih khusus. Perbedaan progresif menyatakan bahwa belajar
bermakna merupakan proses yang kontinyu, dimana konsep-konsep baru memperoleh
lebih banyak arti dengan bentuk lebih banyak kaitan-kaitan proporsional.
Jadi
konsep-konsep tidak pernah tuntas dipelajari, tetapi selalu dipelajari,
dimodifikasi, dan dibuat lebih inklusif. Rekonsiliasi integratif menyatakan
bahwa belajar bermakna akan meningkat bila siswa menyadari akan perlunya
kaitan-kaitan baru antara kumpulan-kumpulan konsep atau proposisi. Dalam peta
konsep, rekonsiliasi integratif ini diperlihatkan dengan kaitan-kaitan silang
antara kumpulan-kumpulan konsep (Dahar,1988: 162)
Selanjutnya Novak
dan Gowin memberikan suatu aturan untuk mengikuti penilaian numerik jika
skoring dipandang perlu. Pertama, skoring didasarkan atas preposisi yang valid.
Kedua, untuk menghitung level hirarkis yang valid dan untuk menskor tiap level
sebanyak hubungan yang dibuat. Ketiga, crosslink yang menunjukan hubungan valid
antara dua kumpulan (segmen) yang berbeda adalah lebih penting daripada level
hirarkis, karena mungkin saja ini pertanda adanya penyesuaian yang integratif.
Keempat, diharapkan siswa dapat memberikan contoh yang spesifik dalam beberapa
kasus untuk meyakinkan bahwa siswa mengetahui peristiwa atau obyek yang
ditunjukan oleh label konsep.
Jenis-jenis Peta Konsep
Menurut Nur
(2000) dalam Erman (2003: 24) peta konsep ada empat macam yaitu: pohon jaringan
(network tree), rantai kejadian (events chain), peta konsep siklus (cycle
concept map), dan peta konsep laba-laba (spider concept map).
1) Pohon Jaringan.
Ide-ide pokok
dibuat dalam persegi empat, sedangkan beberapa kata lain dihubungkan oleh garis
penghubung. Kata-kata pada garis penghubung memberikan hubungan antara
konsep-konsep. Pada saat mengkonstruksi suatu pohon jaringan, tulislah topik
itu dan daftar konsep-konsep utama yang berkaitan dengan topik itu. Daftar dan
mulailah dengan menempatkan ide-ide atau konsep-konsep dalam suatu susunan dari
umum ke khusus. Cabangkan konsep-konsep yang berkaitan itu dari konsep utama
dan berikan
hubungannya pada garis-garis itu (Nur dalam Erman 2003: 25)
Pohon jaringan cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Menunjukan informasi sebab-akibat
hubungannya pada garis-garis itu (Nur dalam Erman 2003: 25)
Pohon jaringan cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Menunjukan informasi sebab-akibat
- Suatu hirarki
- Prosedur yang bercabang
2) Rantai Kejadian.
Nur dalam Erman
(2003:26) mengemukakan bahwa peta konsep rantai kejadian dapat digunakan untuk
memerikan suatu urutan kejadian, langkah-langkah dalam suatu prosedur, atau
tahap-tahap dalam suatu proses. Misalnya dalam melakukan eksperimen. Rantai
kejadian cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Memerikan tahap-tahap suatu proses
- Langkah-langkah dalam suatu prosedur
- Suatu urutan kejadian
3) Peta Konsep Siklus
Dalam peta konsep
siklus, rangkaian kejadian tidak menghasilkan suatu hasil akhir. Kejadian akhir
pada rantai itu menghubungkan kembali ke kejadian awal. Seterusnya kejadian
akhir itu menhubungkan kembali ke kejadian awal siklus itu berulang dengan
sendirinya dan tidak ada akhirnya. Peta konsep siklus cocok diterapkan untuk
menunjukan hubungan bagaimana suatu rangkaian kejadian berinteraksi untuk
menghasilkan suatu kelompok hasil yang berulang-ulang. Gambar 2.5
memperlihatkan siklus tentang hubungan antara siang dan malam.
4) Peta Konsep Laba-laba
Peta konsep
laba-laba dapat digunakan untuk curah pendapat. Dalam melakukan curah pendapat
ide-ide berasal dari suatu ide sentral, sehingga dapat memperoleh sejumlah
besar ide yang bercampur aduk.
Banyak dari
ide-ide tersebut berkaitan dengan ide sentral namun belum tentu jelas
hubungannya satu sama lain. Kita dapat memulainya dengan memisah-misahkan dan
mengelompokkan istilah-istilah menurut kaitan tertentu sehingga istilah itu
menjadi lebih berguna dengan menuliskannya di luar konsep utama. Peta konsep
laba-laba cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
a) Tidak menurut hirarki, kecuali berada dalam suatu kategori
b) Kategori yang tidak parallel
c) Hasil curah pendapat
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Ausubel
dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada
siswa, melalui penemuan atau penerimaan.
David Ausubel
mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning) yaitu proses
mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat
dalam struktur kognitif seseorang.
Struktur kognitif ialah fakta-fakta,
konsep, dan generalisasi yang telah dikuasai siswa. Faktor intelektual dan
emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembalajaran.
B. SARAN-SARAN
Demikian makalah berjudul KONSEP DASAR MATEMATIKA
DAVID AUSEBEL dibuat berdasarkan sumber yang ada. Kekuranga dalam penyusunan
makalah ini tidak mungkin tidak ada. Untuk itu perlulah pembaca memberikan
saran yang membantu agar makalah ini mendekati sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Ausubel,
D. P. 1960. The Use of Advanced
Organizersmin The Learning and Retention of Meaningful
Verbal Material. Journal Of Education Psychology. 51. 267-272.
Wilis,
D, Ratna. 1989. Teori-teori Belajar.
Bandung: Erlangga.